Pendengar yang buruk – Masih dalam topik yang sama membahas tentang komunikasi interpesonal dimana pada artikel sebelumnya kita mengungkapkan tentang kemampuan mendengar sebagai skill penting didalamnya. Kali ini kita akan melanjutkan dengan mengupas apa yang menjadi penyebab dan tantangan kemampuan mendengar. Sehingga dengan mengetahui sebabnya kita dapat membangun hubungan yang langgeng dalam berkomunikasi.
Menjadi pendengar yang baik tidaklah semudah yang dibayangkan. Sebab, seorang pendengar belum tentu seorang pendengar yang baik dan aktif. Ketika Anda menjadi pendengar aktif, Anda memberikan perhatian pada pembicaraan orang lain, dan tak terganggu dengan hal-hal lain termasuk yang ada dalam pikiran Anda sendiri. Anda juga memberikan perhatian pada komunikasi verbal dan gerakan non verbal lainnya, serta memberikan timbal balik terhadap pembicaraan tersebut.
Mendengar dan Mendegarkan
Mendengar dan mendengarkan adalah dua buah kata yang hampir sama tapi tentu memiliki makna yang cukup berbeda. Mendengar bisa saja hanya menggunakan indra pendengaran saja dan tidak memahami atau mengerti apa yang dikatakan lawan bicaranya, bisa saja kita bisa menjelaskan ulang mengenai apa yang dikatakan tapi belum tentu kita paham dengan apa yang dibicarakan. Sedangkan “Mendengarkan” sudah pasti jauh berbeda dimana saat mendengarkan berarti kita memahami apa yang dikatakan oleh lawan bicara kita, misalkan saja kita bisa berempati dengan apa yang kita dengarkan dari lawan bicara.
Mengapa kita tidak bisa menjadi Pendengar Yang baik?
Ada beberapa alasan mengapa banyak dari kita adalah pendengar yang buruk, dengan mengetahui hal-hal yang menjadi penyebab ini maka kita akan lebih mawaspadai diri ketika mendengarkan orang lain.
(1). Karena sibuk mendengarkan diri kita sendiri
Pernahkah Anda terlibat dalam sebuah percakapan seperti berikut ini:
Agung: Kemarin saya liburan ke malang loh bro…
Ringgo: Hmm, saya sih ke singapora mantap kan?
Agung: Iya, kemarin liburan seru banget, saya banyak habiskan waktu diatas gunung lihat lihat pemandangan.
Ringgo: Kalau aku, pagi sampai malamnya banyak tengah kota, waktu malam indah banget lampunya…
Agung: Waktu lagi santai di hotel, tiba-tiba aku didatangi cewek cantik, lalu blablabla….
Ringgo: Wah, itu sih nggak seberapa, kalau aku kemarin malahan lebih hot lagi. Begini ceritanya blablabla….
Dari percakapan diatas kita bisa melihat Ada 2 orang berbicara, akan tetapi tidak ada yang mendengarkan pembicaraan satu sama lainnya. Ini merupakan pembicaraan monolog di dalam sebuah duet.
Kenapa ya percakapan diatas bisa terjadi?
Karena kedua orang yang berbicara pada percakapan tersebut sibuk untuk mendengarkan dirinya sendiri. Bagi keduanya, mendengarkan hanya berarti menunggu lawan bicara selesai berbicara dan setelah itu mereka bergantian mengutarakan pendapat, opini atau pengalaman yang lebih hebat, lebih keren, atau lebih bijaksana.
Dalam kehidupan sehari hari, apakah Anda juga pernah melakukan hal yang sama?
Tidak perlu menyembunyikan lagi Bahkan Sering kali saya juga mendapati diri saya sendiri melakukan kesalahan serupa, rasanya sangat berambisi untuk membuktikan bahwa pengalaman, cerita atau pendapat kita itu lebih hebat, seru, dan bijaksana dibandingkan dengan lawan bicara kita.
Sehingga apapun yang disampaikan lawan bicara hanya kita anggap sebagai angin lalu saja. Walaupun memang Kelihatannya sedang mendengarkan, akan tetapi sebenarnya kita hanya menunggu giliran bicara saja.
Nah, itulah sebab pertama mengapa kita adalah pendengar yang buruk, dengan mengetahuinya paling tidak kita lebih mawaspadai diri ketika suatu saat kita berada dalam posisi atau keadaan seperti ini.
(2). Selalu berasumsi terhadap lawan bicara
Biasanya Sebelum mendengarkan sebuah pembicaraan, sering kali kita sudah memiliki filter, persepsi, atau anggapan-anggapan tentang lawan bicara. Sehingga yang terjadi saat mendengarkan adalah kita akan mencari pembenaran atas presepsi kita yang akhirnya menghalangi pemahaman akan maksud sebenarnya dari lawan bicara.
Misalkan saja Anda sedang berkomunikasi dengan seorang teman dan mengetahui si Jono ini hobi sekali berutang. Maka ketika Si Jono bercerita kepada Anda, setiap kalimat atau cerita yang keluar dari mulut Si Jono Anda persepsikan sebagai alasan mengapa kali ini dia perlu berutang lagi.
Mungkin cerita singkat berikut bisa mengilhami kita untuk tidak terlalu berasumsi.
Dalam sebuah bar, ada seorang wanita cantik juga seksi, saat masuk dibar tersebut dia berkata “Siapa pria terkuat di sini?”
Seorang pria berbadan kekar maju sambil tersenyum dan berkata “Sayalah orangnya, saya pria terkuat di sini”.
Wanita tersebut lanjut berkata “Oohh.. kalau begitu tolong bantu dorong mobil saya sampai SPBU berikutnya ya.
(3). Hanya mendengarkan apa yang ingin kita dengar saja
Memang sudah sifat dasar manusia untuk menyukai yang serupa dengan kita. Hanya saja dalam mendengar, sering akhirnya kita memfilter informasi yang masuk. Kita hanya mendengar apa yang ingin kita dengar saja. Kita otomatis langsung menolak hal-hal yang tidak sesuai dengan keyakinan kita, berita buruk atau kritik yang diajukan kepada kita. Sering kali hal ini berakhir dengan perdebatan atau pertengkaran.
Sering terjadi, ketika kita memperhatikan hanya pada bagian percakapan yang menarik untuk kita. Misalkan saja, seseorang sahabat Anda sedang bercerita bagaimana rasanya rasanya berada di balik bayang-bayang saudaranya yang berkarir dalam angkatan bersenjata. Sedangkan yang Anda dengarkan hanya kata “angkatan bersenjata” dan Anda mengatakan ,”Oh ya, angkatan bersenjata! Belakangan ini saya juga memikirkan soal itu”. Karena kamu akan membicarakan, bukannya apa yang ingin dibicarakan oleh lawan bicaramu, kemungkinan besar kamu takkan pernah mengembangkan persahabatan yang langgeng jika hal ini terus berlanjut.
Jadi itu adalah hal-hal yang menyebabkan kita menjadi seorang pendengar yang buruk. Tapi tunggu dulu, karena ada satu sebab lagi yang menurut saya, justru saat ini telah menjadi tantangan terbesar dalam mendengar dan berkomunikasi. Ini adalah hal yang memang sedang ngetren dan sangat mudah menyebar pada setiap orang, bagaikan virus.
Tantangan terbesar yang menjadi penghalang untuk bisa jadi pendengar yang baik
Tak dapat kita pungkiri bahwa kemajuan teknologi yang pesat telah membawa banyak perubahan, menghadirkan kesempatan sekaligus tantangan baru berkomunikasi terutama dalam konteks komunikasi iterpersonal.
Apakah tantangan tersebesar yang harus kita hadapi khususnya ketika berkomunikasi?
Perhatikan pada gambar diatas, saya yakin anda sudah tahu jawabannya. Survey pribadi saya juga demikian, Setiap kali saya bertanya pada pembaca “Di era modern sekarang ini, apakah gangguan / distraksi terbesar dalam berkomunikasi kita?”. akan terdengar kekompakkan jawaban akan “Gadget”. Apakah anda juga setuju dengan jawaban kebanyakan pembaca? jika anda punya jawaban lain,.. jelaskan dikomentar ya.
Walupun Kehadiran gadget elektronik dapat membantu komunikasi kita menjadi lebih mudah dan cepat, begitu juga sebaliknya perangkat teknologi secanggih apapun bisa membuat kita menjadi pendengar yang buruk bagi orang lain.
Tidak dapat disangkal jika handphone, tablet dan komputer sangat memudahkan komunikasi terutama bila ingin berkomunikasi dengan pasangan atau anak tercinta yang berada jauh, di tempat kerja, di luar kota atau di luar negeri.
Seorang ibu dapat bertatap muka dan melepas rindu dengan anaknya walaupun ia sedang tugas dinas di kota lain. Memang alat komunikasi dapat menjadi suatu keuntungan lebih agar dapat menghubungkan anggota keluarga yang dipisahkan oleh jarak menjadi lebih dekat. Namun apakah kehadiran gadget ini malah menjauhkan anggota keluarga karena masing-masing sibuk dengan urusannya masing-masing.
Fakta buruknya, misalkan saja seorang ayah sedang sibuk bermain facebook di komputer, ibu sibuk dengan grup chatting di handphonenya, kakak sedang chatting dengan temannya via skype di tabletnya dan adik asyik bermain dengan PSnya di kamarnya. Apakah hal ini wajar dan sering terjadi? Bila iya, bagaimanakah nasib komunikasi keluarga yang harusnya dijalin dengan akrab dan hangat?
Karena Gadgets akan mendekatkan yang jauh dan sebaliknya menjauhkan yang dekat
Kecanduan gadget akan membuat komunikasi iterpersonal terganggu
Kenyataan masyrakat modern saat ini hampir setiap harinya tidak lepas dengan perangkat elektronik gadget yang kita miliki. Bahkan disadari atau tidak pada saat anda membaca tulisan ini saya yakin gadget anda terletak dalam jangkauan tangan anda atau bahkan didepan mata anda (hehehehhe.. ya ialah mbah, anda kan sedang membaca artikel online di fispol.com).
Akan tetapi ketidak-lepasan akan gadget ini, sepertinya sudah mulai memasuki tahapan kecanduan atau addiction. Penulis sendiri juga seringa mengalaminya hal yang sama, setiap kali ada notifikasi masuk misalkan saja email baru, sms atau chat kita selalu tergoda untuk membukanya. Kita ingin selalu penasaran dan ingin cepat cepat tahu apa isinya, siapa tahu ada berita bagus (dan seringkali kecewa karena ternyata isinya iklan atau broadcast promosi :V ).
Hal ini belum lagi ditambah dengan semakin maraknya media sosial, permainan di smartphones dan aplikasi aplikasi lainnya yang kita miliki di dalam gadget kesayangan kita. Semuanya saling berkompetisi dan berebut perhatian kita.
Siapa yang akhirnya menang dalam kompetisi ini?
Bahkan saya sendiri tidak mengetahui siapa yang akan menang dalm kompetisi ini, akan tetapi saya mengetahui siapa yang akan kalah….
Yaitu orang di sekitar kita.
Ada sebuah status facebook dari teman saya yang mengilustrasikan fenomena ini, membacanya saya tidak tahu harus tertawa atau sedih.
Itulah yang terjadi jika kita terlalu tenggelam dalam gadget ketika berkomunikasi. Kita tidak bisa lagi connect dengan orang yang ada di sekitar kita, kita tidak lagi merasakan kehadiran mereka.
Demikian halnya dengan presentasi, hal yang paling sering dikeluhkan oleh dosen dan pengajar sekarang ini adalah mahasiswa atau audiens yang tenggelam di dalam gadget mereka. Mereka tidak lagi bisa fokus dalam mendengarkan, mengerjakan atau melakukan sesuatu.
Lalu bagimana kita menghadapi tantangan ini?
Dengan fenomena ini yaitu kecanduan gadget dan dampak buruknya dalam hubungan dan terutama mendengarkan, tentu saja harus ditangani dengan benar dan juga tidak berlebihan.
Apakah kita harus menjual semua gadget dan peralatan elektronik lantas memutuskan hidup menyendiri di hutan?
Tentu saja tidak harus menjadi segila itu juga ya.
Atau apakah kita harus mengganti smartphone kita yang canggih dan kembali ke posel sederhana yang tanpa akses internet sama sekali?
Saya kira tidak juga perlu se-ektrim itu.
Oleh karena itu yang bisa kita lakukan adalah gunakan gadget dalam batas yang wajar (in moderation). Matikan notifikasi yang bisa mengalihkan perhatian anda, Contohnya adalah:
- Matikan notifikasi suara untuk email yang masuk
- Jika anda tergabung di group chat, matikan semua notifikasi suara atau visual. Anda hanya cek jika anda memang secara sadar akan mencek.
Secara teknis, mematikan seluruh notifikasi pada smartphone akan menghemat baterai ponsel Anda. Namun secara psikologis, tindakan ini sebenarnya membantu Anda untuk lebih konsen ke hal-hal lain yang lebih penting. Bunyi notifikasi social media atau messenger dapat membuat Anda tidak fokus dan cenderung penasaran. Bila memang tidak urgent, matikanlah notifikasinya sehingga Anda tidak kecanduan untuk selalu mengintip ponsel berkali-kali dalam sehari.
Demikianlah artikel sederhana tentang tantangan dan penyebab mengapa kita menjadi pendengar ya buruk. Untuk menambah pengetahuannya dalam silahkan Update artikel lanjutan pada topik Komunikasi Interpersonal dan public speaking.